Masa
remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak mencapai
kematangan seksualnya. Apabila pada tahap ini perkembangan anak terhambat maka
akan berpengaruh pada perkembangan emosional dan kepribadian. Di sini seorang
anak mulai menghadapi berbagai jenis permasalahan yang berasal dari internal
dirinya maupun eksternal. Untuk membantu anak menghadapai masa transisi remaja
ini, pran keluarga sangatlah diperlukan, karena keluarga dijadikan sebagai sebuah
rumah untuk kembali.
Keluarga
merupakan sebuah tempat yang memberikan layanan pengasuhan, afeksi, dan
berbagai kesempatan yang akan dijadikan saran sosialisasi anak dan memberikan
pengaruh yang signifikan bagi anak dalam perkembangan psikologisnya. Keluarga
yang didambakan yaitu keluarga yang utuh, mereka hidup bersama-sama, saling
berbagi kasih sayang, perhatian, ide, maupun kesedihan. Namun, fakta yang
dijumpai saat ini tidak sedikit keluarga yang hanya terdiri dari orang tua
tunggal. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor yang
paling sering dijumpai adalah faktor perceraian (Rimbani, 2018).
Anak
dengan status kedua orang tuanya bercerai akan mendapat lebih banyak kesedihan
dan konflik daripada anak yang tumbuh dikeluarga yang stabil. Selain itu,
kondisi keluarga yang tidak utuh lagi akan menyebabkan problem psikologis.
Permasalahan yang timbul pada saat remaja akan mempengaruhi remaja dalam
mencapai tugas perkembangannya diantaranya remaja tidak mampu menerima keadaan,
tidak mampu membina hubungan yang baik, tidak dapat mandiri secara emosional,
tidak mudah memahami nilai-nilai orang tua dan orang dewasa serta sulit
mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga dimasa mendatang. Hal ini dapat
terjadi karena mereka kehilangan peran ayah dan ibu yang memiliki fungsi
penting dalam mengontrol mereka agar mereka dapat mengetahui batasan-batasan
dalam berperilaku (Afustina,
2015).
Menjadi
anak dari keluarga yang broken home tidak selalu buruk. Tidak menutup
kemungkinan latar belakang broken home tersebut dapat dipandang dari
sisi yang lebih positif. Ada hikmah yang dapat diambil sebagai motivasi bagi
korban broken home untuk menjadi individu yang lebih positif. Sikap
mandiri yang tercipta karena tuntutan beradaptasi dengan keadaan hidup yang
harus dijalani tanpa perhatian dari orang tua. Sikap kedewasaan biasanya muncul
pada diri korban keluarga broken home karena terbiasa menghadapi masalah
sendiri dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Sebuah multi-studi pada efek
perceraian orang tua pada anak-anak, menemukan bahwa banyak orang dewasa awal
yang mengalami efek positif setelah perceraian dan hasil tersebut tergantung
pada berbagai faktor keluarga dan sosial yang membentuk pengalaman perceraian.
Meskipun, mayoritas penelitian mengenai anak-anak korban perceraian terus
mengeksplorasi efek negatif daripada efek positif (Wulandri & Fauziah, 2019).
Regulasi
emosi merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah emosi/psikologis pada
korban broken home. Regulasi emosi dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku
tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Astuti, 2019). Selain itu, korban broken home
membutuhkan bimbingan pribadi dan sosial. Bimbingan pribadi yang meliputi
kemampuan memahami diri sendiri, kemampuan mengambil keputusan sendiri, dan
kemampuan memecahkan masalah yang menyangkut keadaan batinnya sendiri.
Sedangkan bimbingan sosial bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi
masalah sosial sehingga individu dapat menyesuaikan diri secara baik dalam
lingkungan sosialnya. (Prastianto,
2016).
Coping
stress merupakan
suatu strategi yang berfokus pada emosi ditujukan untuk mengurangi dampak dari stressor
yang dirasakan jika stressor tidak dapat diubah atau dihindari, atau
jika individu menganggap stresor itu sangat mengancam, tidak dapat diubah, dan
tidak terkendali. Coping stress membutuhkan latihan. Dalam proses coping
stress dibutuhkan kemampuan dalam mengelola emosi maupun mengelola masalah
yang dihadapinya (Astuti,
2019).
Pendidikan
karakter juga diperlukan untuk membenahi psikologis dari korban broken home.
Anak dengan kondisi emosi yang masih labil jika tidak dibarengi pendidikan
karakter, akan tetap mudah terganggu secara psikologis. Dengan adanya
pendidikan karakter membuat seseorang yang tangguh tidak akan mudah putus asa,
dan tidak akan mudah stress (Ngamanken, 2014).
Alangkah
lebih baiknya pendidikan karakter ini dikolaborasikan dengan metode coping
stress untuk menangani permasalahan psikologis korban broken home dan
dilakukan oleh psikiater serta dukungan diri sendiri maupun orang disekitar
korban. Semua metode ini merupakan upaya untuk membenahi keadaan masalah
psikologis anak yang tidak siap dengan kenyataan atau perubahan besar terjadi
dikehidupan keluarganya. Agar kedepannya anak tidak akan trauma, atau berdampak
negative berkepanjangan terhadap psikologis dan kehidupannya.
Daftar Pustaka
-Afustina, Y. (2015). Self Disclosure Mengenai Latar
Belakang Keluarga yang Broken Home kepada Pasangannya. Jurnal E-Komunikasi,
4(September).
-Astuti, D. (2019). Pengaruh First Pshycological
Aid Dalam Meningkatkan Regulasi Emosi Dan Coping Stress Anak Panti Asuhan Di
Kota Kudus. 52–74.
-Ngamanken, S. (2014). Pentingnya Pendidikan
Karakter. 5(45), 82–87.
-Prastianto, B. A. (2016). Dinamika Psikologis Siswa
Korban Broken Home di Sekolah Menengah Pertama
Negeri 5 Sleman. September, 1–10.
-Rimbani, Y. (2018). Pengaruh Konseling Individu
Terhadap Kesehatan Mental Anak Dari Keluarga Broken Home.
-Wulandri, D., & Fauziah, N. (2019). Pengalaman
Remaja Korban Broken Home (Studi Kualitatif Fenomenologis). Empati, 8(1),
1–9.
Amanita Dias Ezha Putri/21601101054
0 Comments